"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa" [QS. Al Baqarah: 183]
Penggalan arti ayat suci Al Qur'an di atas menjadi sering kita dengar saat ini. Ya, saat ini memang Bulan Ramadhan, bulan di mana umat Islam di seluruh belahan dunia menunaikan ibadah puasa. Tak terasa, Ramadhan telah sekitar 10 hari terlewati. Ada yang bilang 10 hari itu terasa cepat, ada pula yang bilang terasa lambat, ada pula yang biasa-biasa saja. Dan ada pula yang tidak merasakan apa-apa, karena dia memang tidak puasa, jadi gak ada bedanya. Hanya saja sekarang agak susah mencari makan siang hehehe..
Ramadhan... kenapa sih harus ada bulan Ramadhan? Kenapa sih di bulan ini harus berlapar-lapar puasa segala? Katanya bulan ini adalah bulan suci, kok malah disuruh puasa? Apa lapar identik dengan kesucian ya, kalau gitu 11 bulan yang gak puasa itu berarti penuh ketidaksucian dong (waduh, ini pemikiran dah mulai melenceng nih, bisa-bisa ntar banyak yang menuai badai cercaan dari orang-orang karena dianggap menentang agama ^_^ huehe). Ya... apapun esensi dan maksud adanya bulan Ramadhan ini, ku tak ingin membahasnya. Takut ilmunya tidak nyampe dan malah menyesatkan. Kalau mau tahu dan mengerti, datang aja ke majelis-majelis taklim yang sekarang sedang menjamur di mana-mana, bahkan di televisi dan radio.
Yang jelas, ku merasa banyak sekali ironi yang terjadi di bulan ini, baik di Indonesia maupun di belahan dunia yang lain (yang paling terasa tentu di Indonesia, karena ku hidup di Indonesia... suatu negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini). Ramadhan, katanya adalah bulan keprihatinan, bulan untuk refleksi dan introspeksi. Bulan di mana kita diperintah berpuasa agar kita bisa merasakan apa yang dirasakan oleh masyarakat bawah, yang sehari-hari makan saja susah, sehingga kita pun menjadi lebih peka lagi dalam menjalani hidup. Ramadhan juga merupakan bulan yang penuh dengan kesabaran, kejujuran, dan diakhiri dengan kemenangan.
Tapi apa yang terjadi sepanjang bulan ini? Jauh-jauh hari saja sudah ada ancang-ancang untuk menutup sejumlah diskotik, dan hiburan malam lainnya. Alasannya adalah untuk menghormati orang yang berpuasa. Lah... belum apa-apa udah manja, minta dihormati segala. Kalau mau puasa ya puasa aja dunk, gak usah minta dihormati segala, pakai pengumuman "Hoi... saya lagi puasa nih, jangan ganggu kekhusyukan saya!" padahal di sisi lain, kita semua setuju kalau puasa merupakan ibadah yang tersembunyi, yang orang lain tidak tahu kita ini sedang puasa atau tidak. Restoran-restoran diminta untuk menutup restorannya, atau setidaknya menutupi agar orang luar tidak bisa melihat orang-orang yang sedang makan di dalamnya, dengan alasan yang sama yaitu menghormati dan toleransi. Mengapa kita justru meminta orang untuk menghormati puasa kita? Kapan kita sendiri yang berpuasa ini menghormati orang lain yang tidak berpuasa?
Di sisi lain, menu makanan justru lebih variatif di bulan Ramadhan ini. Ini terjadi di mana-mana. Banyak sekali jajan pasar atau apapun istilahnya (karena tiap daerah memiliki istilah tersendiri) yang dijual dan dijajakan sebagai menu buka puasa atau pun untuk santap malam dan santap sahur. Dan tempat-tempat ini sangat ramai dikunjungi, bahkan bisa menjadi ajang wisata kuliner setahun sekali, karena tidak setiap saat ada, hanya ada pada saat Ramadhan. Jadi bulan ini sebenarnya bulan apa? Bulan keprihatinan? Pada bulan puasa kok malah makanan lebih variatif ya? hehehe... jadi puasa justru identik dengan makan enak (Loh..?? Kebalik harusnya ya :D ) Seringkali kita mendapati pengeluaran kita justru lebih besar di saat Ramadhan dibandingkan di bulan-bulan biasa. Lho, kok bisa ya? Harusnya di bulan ini kan justru lebih hemat, kita tidak perlu makan siang dan sebagai gantinya cukup dengan makan buka puasa yang biasanya berupa makanan-makanan yang lebih ringan daripada menu makan siang. So, di Bulan Ramadhan ini memang hidup kita jadi lebih boros. Kita yang dimaksudkan di sini adalah orang-orang yang mampu. Bagaimana dengan yang tidak mampu? Ya tetep aja, sulit. Di luar Ramadhan lapar, di bulan ini lapar juga. Bedanya di bulan ini masih bisa mendatangi masjid-masjid menjelang Maghrib dan di sana biasanya ada takjilan alias makan-makan buka puasa. Kalau di bulan lain, kita mendatangi masjid ketika Maghrib ya isinya cuman sholat Maghrib aja huehe..
Selain konsumsi makanan yang makin variatif dan boros tentu saja, pemborosan lain juga terjadi di bidang-bidang lain. Acara-acara yang bertajuk buka puasa bersama, selain ada sisi positif yaitu menguatkan ukhuwah, ternyata menyimpan suatu dampak buruk yang tersembunyi yaitu pemborosan. Apalagi penyelenggaraan acara ini seringkali menyerupai pesta, baik pesta sederhana maupun pesta yang mewah. Juga kita menemui spanduk dimana-mana menyambut Ramadhan. Berapa banyak biaya yang dikeluarkan untuk pembuatan dan pemasangan spanduk (yang rata-rata 2 x pasang, yaitu saat awal puasa dan akhir puasa menyambut lebaran). Seringkali tiap-tiap kampung maupun ormas/orpol Islam memasang spanduknya sendiri-sendiri dan tidak mau memasang spanduk gabungan agar lebih hemat. Juga budaya kirim-kiriman SMS di awal dan akhir puasa untuk bermaaf-maafan. Tujuannya memang baik, namun akhir-akhir ini terasa SMS tersebut hanyalah sebuah formalitas, basa-basi dan seperti menjadi etika saja. Dan justru ketika kita tidak terpikir untuk menulis SMS ke rekan kita, ataupun membalas SMS yang diberikan rekan kita, kita seperti menjadi orang yang bersalah karena tidak mau meminta maaf dan memaafkan orang. Hmmm.... ternyata Ramadhan sekarang memang boros.
Bulan ini pula bulan di mana libur membanyak, dan jam sekolah maupun jam kerja dikurangi. Alasannya sama, menghormati orang yang puasa. Jadi, orang puasa dianggap (atau menganggap dirinya) lemah. Tak heran jika produktifitas dan kualitas umat Islam seringkali kalah jauh daripada umat lain, karena setidaknya dalam 1 tahun ada 1 bulan yang mereka benar-benar tidak menjadi manusia yang produktif, di mana kata-kata bahwa "tidur di bulan ini merupakan ibadah" lebih membahana dibanding kerja keras dan menuntut ilmu. Bagi para pekerja, di bulan ini pula ada insentif tahunan yang disebut THR alias Tunjangan Hari Raya yang besarnya cukup untuk membuat kerja lebih semangat di bulan ini. Tentu saja, tambahan semangat ini masih dalam koridor jam kerja yang dikurangi hehe... Mengapa THR diberikan hanya pada saat puasa dan lebaran saja? Apakah Indonesia hanya mengenal 1 hari raya keagamaan? Mengapa di hari-hari besar agama yang lain tidak ada THR? Kasihan juga kan orang-orang yang merayakan hari besar agamanya tidak pada saat lebaran.. Pada saatnya mereka berhari raya, tidak ada tunjangan sama sekali. Katanya Indonesia bukan negara agama, penuh dengan toleransi, tapi nyatanya hanya ada 1 hari raya saja yang "diakui". Padahal dalam Islam sendiri hanya mengenal 2 hari raya, dan hari raya yang terbesar sebenarnya adalah Idul Adha, di sana banyak pesta terjadi, bahkan larangan berpuasa pun mencapai 4 hari lamanya dibanding larangan puasa pada Idul Fitri yang hanya 1 hari. Tapi bagi kita, yang lebih besar dan terasa justru Idul Fitri (mungkin karena setelah 1 bulan penuh berpuasa, dan setelah itu "balas dendam" hehehe).
Yach.. tulisan di atas hanya sekedar refleksi saja, jangan sampai membuat kebakaran jenggot. Ingat, ini masih bulan puasa, jadi harus sabar huehehe... Dan aku pun sangat menikmati bulan ini dengan segala kenikmatan dan fasilitas yang ada di dalamnya, makan enak, liburan, jam kerja berkurang, juga THR hehehe. Selamat berpuasa..
10 Ramadhan 1427 H